Transformasi Kebudayaan Masa Lampau ke Masa Depan -->
Cari Berita

iklan 970x90 px

Transformasi Kebudayaan Masa Lampau ke Masa Depan

TalkingNewsNTB.com
09 Desember 2018

Oleh: Muhammad Sahrain
(Peneliti Genius NTB)


TalkingNEWS.asia- Apresiasi kepada pemerintah NTB dalam hal ini Dinas Kebudayaan, tanggal 8-9 Desember 2018 membahas bahan ajar muatan lokal untuk SMA dan SMK. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelaku kesenian dan kebudayaan mengiventarisasi atau menyusun bahan-bahan ajar muatan lokal untuk sekolah. Bahan-bahan ajar ini dikemas dalam bentuk teks, kemudian hasilnya menjadi bahan ajar  sesuai kategori-kategori yang sudah disiapkan oleh pihak Dikbud. Mengikuti kerangka kurikulum yang sudah ada KI dan KD yang tersusun. Setelah sebelumnya, kurang lebih dimulai dua tahun lalu, sekarang sudah sampai tahap penyususunan bahan ajar kurikulum: memberi masukan terhadap bahan ajar itu sendiri. Sekarang ini telah usai tahap yang lebih teknis, yaitu bahan ajar. 

Bahan ajar ini kemudian diharapkan tidak hanya diisi satu hal, melainkan banyak hal, dan berbagai aspek, seperti kebudayaan, antroplogis, kesenian, sosiologis, dan kesejarahannya. Harapanya, ketika kemudian para guru mulok kembali ke kelas, bahan ajar ini bisa menjadi modal buat bagi guru sebagai bahan ajar sesuai amanat kurikulum. Ukuran bahan ajar ini berbentuk teks: ada naratif, deksriptiv, prosedur dan lain-lain sesuai kebutuhan. 

Kemajuan kebudayaan dalam perspektif linguistik, memiliki peran sentral. Melalui diskusi di kantor bersama Rowot Nusantara Lombok, Gravitasi Mataram, Lombok Heritage Society, dan Asosiasi Tradisi Lisan di jalan Pelikan Nomor 1, pada 8 Desember 2019, kemarin. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa para guru harus berkompeten. Jika meminjam pernyataan orang Belanda yang dikutip oleh salah satu budayawan Sasak M. Yamin, “bahasa adalah manusia itu sendiri”. Bahasa tidak sekedar dipandang sebagai media dalam berkomunikasi, dalam konteks ini bahasa dipandang bahwa mentalitas, perilaku dan segala aktivitas manusia ada dalam bahasa.Bahkan kemerdekaan manusia juga tidak terlepas dari peran sentral bahasa. Memahami kehidupan manusia yang satu dengan yang lainya juga dipelajari dari bahasa. 

Dicontohkan, pengacara ketika menangani kasus di pengadilan saja, ketika keliru menyampai dua atau tiga kata akan menjadi persoalan, bahkan berujung pada kekalahan. Guru pun demikian, kecapakan dalam berbahasa menjamin berlangsungnya proses transformasi ilmu pengetuan dimana guru itu berada. Penulis sendiri sepakat seruan M. Yamin, “para guru, sejatinya harus lebih dahulu yakin terhadap peran bahasa itu sendiri”. 

Futuristik Kebudayaan dan Tranformasinya.

Dalam perpektif kelokalan orang Sasak, misalnya. Secara tegas, pondasi kebudayaan Sasak adalah merujuk pada nilai-nilai ketauhidan Islam. Dari pondasi yang demikian, secara otomatis sistem tata nilai yang dianut pun demikian, bahwa pondasi dasar berkebudayaan orang Sasak adalah keislamannya. Ini kemudian ditegaskan oleh Majelis Adat Sasak (MAS), konten-konten yang dibahas dalam muatan lokal harus diverifikasi berdasarkan framework Islam. “Kita akan mendapatkan originalitas berdasarkan pondasi pemikiran islami yang menjadi bagian dalam kehidupannya, orang Sasak sendiri  hampir 100% Islam”. Pernyataan ini ditegaskan oleh sekretaris Majelis Adat Sasak Dr. Lalu Ari Irawan. 

Berangkat dari pondasi keislaman itu, maka setiap trasnformasi kebudayaan melalui muatan lokal sudah semestinya mempertimbangkan roh kebudayaanya. Harapannya, ketika bahan ajar muatan lokal sampai pada peserta didik, tidak keluar dari akar kebudayaan. Persoalan kemudian, sudah semestinya ditegaskan dan diperjelas? Ini penting, agar tidak berdampak pada ketimpangan berkebudayaan. Persoalan ini, dalam istilah M. Yamin, salah satu budayawan Sasak, “split personality”. Bahwa roh kebudayaan Sasak yang notabenenya merujuk pada nilai islam, namun ekspresi kebudayaannya sebagian besar tidak merepresentasikan pondasi tersebut. Persoalan ini yang kemudian MAS sebagai salah satu institusi kebudayaan yang berdiri sebagai tembok penyeleksi kebudayaan baru di tengah geliatnya perkembangan tekhnologi dan perpaduan kebudayaan dunia menekankan, bahwa perlu adanya verifikasi terhadap konten-konten yang kurang tepat, lalu merujuk pada pondasi kebudayaanya. Ketika yang demikian itu keluar dari framework keislamannya, akan terjadi split personality berkepanjangan terhadap ekspresi kebudayaan Sasak. Mungkin juga akan berakibat pada ketidakpercaya diriannya terhadap kebudayaan sendiri. Sementara dalam konteks intitusi pendidikan yang dipercaya sebagai salah satu panglima transformasi nilai-nilai tersebut, dan proses pelajaran muatan lokal, maka perisai originalitas kebudayaanya harus dipahami secara mendalam dan menyeluruh oleh semua pelaku pendidikan. 

Sisi lain, MAS dipandang sebagai institusi yang menjaga marwah kebudayaan Sasak, tengah berupaya menjaga napas keislaman dalam berbudaya orang Sasak. Menjaga dalam pengertian memelajari, mengkaji, melaksanakan, dan menyebarluaskan. Konteks kebudayaan sebagai masa depan, MAS berusaha melihatnya dalam dimensi waktu, bahwa kebudayaan dalam bentuk warisan, yang disebut sebagai local heritage merupakan hasil dari pendidikan masyarakat maupun keluarga turun temurun, baik itu melalui sikap, perilaku, dll. Ini yang kemudian dilihat sebagai potensi khasanah yang sangat luar biasa, sehingga tidak boleh hilang dari sistem pengetahuan masyarakat Sasak. Pertama, menyangkut identitas. Kedua, menyangkut nilai-nilai luhur yang mengawal pola kehidupan masyarakat Sasak sampai hari ini. 

Dalam hal itu, MAS melihat, orang Sasak yang sejatinya memegang nilai tindih, maliq, dan merang, harus menjaga marwah nilai ke-Sasak-an agar tidak kehilangan patron. Di tengah terombang ambing dan menguatnya pertautan antar kebudayaan dunia hari ini, dan berkembangnanya teknologi dan ilmu pengetahuan, maka ketika kehilangan patron akan membuat orang Sasak semakin jauh mengenali tentang dirinya dalam skala kelolakan yang luhur. Meminjam penyataan Majelis Adat Sasak melalui Dr. Ari Irawan, “orang Sasak akan menjadi orang asing di tanah sendiri”. Ini adalah PR masyarakat Sasak untuk menjadi tuan atas dirinya. Menyeleksi secara ketat kebudayaan luar.

Mengkaji corak kebudayaan Sasak tidak berarti menyombongkan diri atas perbedaan itu. Namun, perbedaan yang kemudiaan, semestinya dipelihara untuk membangun bangsa Sasak dengan caranya, berikut dengan pondasi kebudayaanya. 

Apa yang kita lakukan hari ini, baik oleh MAS maupun institusi lainya, adalah sedang dalam proses kebudayaan itu sendiri. Memelajari, mengkaji, mendokumentasikan, melakukan polarisasi, dan mentrasformasikan. Ini lah dinamika yang akan ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Mewariskan serial-serial yang serupa untuk dipelajari oleh generasi yang berekspresi dengan napas keislaman. Bila terjadi pengurangan, penambahan dalam interaksi manusia Sasak di kemudian hari, itu adalah bagian keniscayaan. Karena memang sifatnya yang dinamis. Namun tetap terjaga nilai dan norma dalam setiap ekspresi kebudayaan orang Sasak: yang islami. Corak ekspresi, seperti tembang 12 ragam, rebana lima, wayang sasak, gendang beleq, tendang mendet, teater amaq abir, gambus tunggal amaq sadar, cilokaq, tongkek, barzanji, kecimol leneq, belakaq, bekayat/nyaer, harus dikaji dan dijaga substansi nilai lokal dari ekspresi yang demikian. Ketika keahlian guru-guru terbatas, seniman masuk sekolah juga menjadi solusi untuk mengajarkan ekspresi-ekspresi tersebut.

Keniscayaan terhadap pola ekspresi di kemudian hari, orang-orang Sasak sudah seharusnya secara sadar menyatakan diri dengan tegas, kemudian harus mendorong transformasi kebudayaan. Transfomasi dalam pengertian, nilai-nilai tersirat dan tersurat yang tersimpan dalam naskah kuno dalam bentuk lontar, dan naskah lainya dikaji, dipublikasikan, dan ditransformasikan sesuai pola kehidupan masyarakat pada zamannya. Ketika pola perilaku berubah pada suatu zaman, nilai-nilainya tetap terjaga, norma-norma masih terpelihara meskipun ekspresinya disesuaikan dengan tuntutan zaman. Majelis Adat Sasak juga melihat pentingnya re-generasi terhadap pengetahuan dan keterampilan membaca lontar. Bahwa sejauh ini, sangat terbatas jumlahnya. Keinginan dan minat masyarakat sangat sedikit akan soal itu, apalagi di sekolah-sekolah. “Persoalannya adalah ketika manuskrip-manuskrip itu tidak dibaca maka putuslah sanad keilmuan dari para leluhur ini”, demikian kata skretaris MAS.

Dalam konteks melihat kebudayaan, Majelis Adat Sasak juga berharap ini berlaku dengan Samawa dan Mbojo. Dimana pondasi dasar dari pola kebudayaanya merujuk pada nilai-nilai keislaman. Keislaman dalam ekspresi kebudayaan di NTB ini harus dijaga dan diajarkan kepada generasi, ketika  terjadi proses tranformasi, semestinya merujuk pada semangat tauhinya. Di NTB, corak ekspresi kebudayaan juga beragam: Sasak, Samawa, dan Mbojo. Namun nilai-nilai tauhid: Islamnya, menjadi semacam benang merah  persatuan tiga etnis ini, sehingga pondasi nilai, norma, ekspresi, berikut juga dengan institusi yang mengelola marwah kebudayaannya masing-masing, harus dijaga. NTB sendiri tidak juga barat, pun juga tidak timur posisinya, tidak berlebihan dikatakan sebagai Gumi Gora Gumi Islam.