![]() |
Foto: Ketua Ketua Front Nggahi Rawi Pahu Muksin. |
Bima, TalkingNEWSntb.com -- "Kepala Desa dan Ketua BPD setempat buta akan regulasi dan tuli akan aspirasi sehingga tidak tau arah untuk memajukan peradaban desanya".
Demikian pernyataan tegas Muksin selaku Ketua Front Nggahi Rawi Pahu (FRPN) Desa Woro, Kecamatan Madapangga Bima NTB, Jum'at (28/4/23).
Muksin menganalogikan bahwa regulasi merupakan rel sebagai jalan lintasan kereta (Desa). Kades sebagai pengemudi memastikan dan menjamin keselamatan penumpang dalam hal ini masyarakat. Sedangkan BPD sebagai pengawas memperingati jika sopir (kades) keluar jalur atau keliru. Lebih-lebih bila tersesat menjalankan tugas yang diamanatkan oleh negara tersebut.
Lanjut dia, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, maka sang sopir dari awal memang harus berbekal keahlian (SDM). Jika tidak kecalakaan maut akan selalu menghantui. Artinya, Kades sebagai pemimpin dituntut lebih dalam mengelola roda pemerintahan agar desa bisa maju dan berkembang. Tentunya dengan menghormati regulasi yang ada.
"Kesimpulannya adalah, orang tidak akan melanggar hukum jikalau paham hukum, taat hukum, dan takut akan sanksi hukum," ungkap seorang mahasiswa Mataram itu.
Karenanya, Ia mengingatkan Kades dan ketua BPD Woro agar banyak membaca, menerjemah, dan memahami asal hukum lex spesial derogat generalis atau aturan yang khusus menyampingkan aturan umum, supaya tidak rancu di dalam menanggapi dan mengeluarkan argumen ketika mahasiswa, pemuda, dan masyarakat menyampaikan problem baik tersirat maupun tersurat.
"Saya rasa Kades orang yang pernah belajar hukum dan kenapa argumentasinya tidak mencerminkan sikap ketaatan dan kepatuhan atas asas hukum itu sendiri. Miris mendengarnya," jelas Muksin.
Parahya, lanjut dia, saat audiensi berlangsung. Kades memuji diri dengan mengaku bahwa APBDes Woro aman karena sudah dicek oleh badan pengawas keuangan, pun begitu dengan RPJMDes, musyawarah desa, RKPDes, LPPD dan LKPPD, yang semuanya sudah dilaksanakan.
"Saat kami minta perlihatkan dokumen RPJMDes, RKPDes, APBDes, LPPD/LPJ, dan LKPPD/LKPJ sebagai bukti apa dikatakan kades dan BPD. Mereka malah bersikeras menolak. Pada prinsipnya permintaan dokumen tersebut atas dasar hukum dan merupakan kewajiban bagi Kades untuk memenuhinya, karena itu adalah bentuk laporan kades sebagaimana yang diamanatkan Permendagri UU 46/2016 tentang Laporan Kepala Desa dan lebih rincinya dapat dilihat Bab 2 Pasal 10 bagian keempat," terang Muksin.
Perlu disampaikannya, selain atas dasar undang-undang sehingga mahasiswa berbagai kampus yang tergabung dalam FRNP menginisiasi audiensi hingga meminta seluruh dokumen tersebut, juga meyakini bahwa selama akhir tahun anggaran 2020, 2021, dan 2022, kades tidak pernah menyampaikan LKPJ secara tertulis di hadapan sidang BPD seperti lazim dilakukan BPD periode 2013-2019. BPD sekarang tidak pernah menggelar sidang penerimaan LKPJ kades.
Padahal, antara BPD periode 2013/2019 dengan BPD sekarang sama-sama mengacu pada UU 6/2014 tentang Desa dan Permendagri 110/2016 tentang BPD. Pertanyaannya apakah perundang-undangan tersebut diberlakukan terhadap BPD 2013-2019 atau juga untuk BPD sekarang dan silakan berikan tanggapannya resmi melalui akses informasi seperti ini.
"Kami meyakini jangankan soal LKPJ, LPPD saja tidak pernah disampaikan kepada bupati melalui camat. Belum lagi soal-soal lain seperti rehab ruangan kades, normalisasi sungai so Maende dan penimbunan jalan lingkungan RT.14, yang mana ruangan tersebut sudah direhab menggunakan uang pribadinya beliau setelah sekitar seminggu terpilih menjadi kades pada Pilkades 2020, ko kades dan BPD berani sekali memasukan alokasi APB Desa untuk rehab ruangan tersebut," tegasnya.
"Soal normalisasi sungai kenapa menggunakan alat eksavator bantuan Pemda Bima, sementara dalam APB Desa 2020 ada anggaran belanja sewa jasa eksavator. Dari dua problem ini makin meyakini bahwa apa yang menjadi argumentasi kades dan ketua BPD adalah sebuah pembohongan publik dan wajib diusut," tambah Muksin. (Red)