![]() |
Foto: Lokasi proyek rumah relokasi banjir senilai Rp36 yang kini terlihat sepi. |
Kabupaten Bima, TalkingNEWS -- Pelaksanaan pembangunan rumah relokasi senilai Rp 36 M di So Lante Desa Tambe Kecamatan Bolo Kabupaten Bima kian hari memunculkan sederet masalah. Proyek yang bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI itu, terkesan dipaksakan agar dipercepat. (Baca Juga): Lahan Proyek 36 M di Tambe Bermasalah, Sejumlah Pihak Tuding ada Konspirasi.
Hal itu terbukti, pasca dilakukan peletakan batu pertama oleh Bupati Bima pada beberapa waktu lalu, tiba tiba kegiatan proyek tersebut dihentikan paksa oleh warga setempat akibat banyaknya masalah yang belum tuntas diselesaikan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan pantauan langsung sejumlah awak media di lokasi proyek, pada Sabtu (18/6/21) tampak terlihat sepi tanpa ada aktifitas serta kegiatan proyek. Hal itu terjadi disebabkan kuatnya arus penolakan dari warga lantaran sederet masalah yang ada. (Baca Juga): Di Balik Masalah Masalah Pembebasan Lahan Proyek Rp36, Mencuat Sertipikat Siluman.
Sebut saja masalah yang mencuat diantaranya, belum ada kepastian penyelesaian secara hukum—di antaranya ganti rugi pemilik tanaman jagung yang sudah ditebas, tukar guling tanah, pembebasan lahan, hingga pada persoalan mencuatnya Sertifikat tanah dari semula milik asset daerah kemudian disertifikat atas nama pribadi oleh oknum hingga masuk dalam jaminan (agunan) pada salah satu Bank.
Persoalan lain, adanya penolakan oleh warga masyarakat di Desa Tambe terkait penempatan lokasi sumur bor. Sehingga sampai saat ini status lokasi untuk kegiatan sumur bor kabarnya sudah dialihkan di luar dari wilayah/lokasi proyek tersebut. Padahal, relokasi rumah banjir tersebut wajib didukung dengan sumber mata air bersih.
Di satu sisi, sosialisasi bahwa sebanyak 185 penerima manfaat rumah relokasi banjir wajib mengetahui konsekuensi yakni menyerahkan rumah dan lahan tempat tinggal mereka sebelumnya menjadi asset milik pemerintah. (Baca Juga): Soal Rumah Relokasi, Masdin Tuding Pemda Melegalisasi Kejahatan.
Sederet persolan yang mencuat tanpa adanya penyelesaian tersebut justru menimbulkan ragam komentar dari berbagai kalangan, lebih lebih dari aktivis maupun LSM. Salah satu diantaranya yakni Kesatuan Aksi Pemuda Anti Korupsi (KAPAK) NTB.
Ketua Umum KAPAK NTB Gufran yang dimintai komentarnya, Minggu (20/6/21) menuturkan harusnya Pemerintah Daerah tidak menyampingkan dengan banyaknya polemik yang mencuat tersebut. Kerena pada prinsipnya pelaksanaan kegiatan proyek sebelum dilakukan peletakan batu pertama tentu segala urusan yang berkaitan dengan proyek dituntaskan terlebih dahulu.
"Inikan proyek besar. Harusnya segala urusannya diselesaikan lebih dahulu sebelum adanya kegiatan proyek. Karena pada intinya ketika telah dilaksanakan peletakan batu pertama, artinya segala urusan yang berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan sudah selesai. Namun ini jauh berbeda dengan fakta yang ada," ungkapnya. (Baca Juga): BPN Bima Sebut Oknum Pemdes Tambe Dalang di Balik Sertipikat Siluman.
Gufran menjelaskan sejauh yang diketahuinya dalam urusan proyek pembangunan, point yang harus pertamakali diselesaikan yakni Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), biaya ganti rugi pembebasan lahan dan lain sebagainya. Sehingga tidak mengganggu aktivitas proyek. Namun bila point' point' penting tersebut tidak diindahkan, maka tak heran jika Mega proyek Rp36 M tersebut dihentikan paksa oleh warga.
"Pelaksanaan proyek ini terkesan dipaksakan tanpa persiapan yang matang. Harusnya pemerintah daerah tau persolan tersebut agar menjaga kemungkinan yang terjadi. Atau kemungkinan kepentingan untuk mendapatkan pundi pundi dalam proyek ini sangat besar dan itu bisa saja terjadi.
Dengan banyaknya masalah ini, kami menduga ada konspirasi besar yang diperankan oleh pemangku kekuasaan di Bima ini. Maka tentunya harus dikawal bersama," tudingnya. (Khan)
Editor: Agus