Tari "Ou Balumba" di Festival Lakey 2025 Tuai Pro Kontra, Budaya vs Tafsir Kepercayaan -->
Cari Berita

iklan 970x90 px

Tari "Ou Balumba" di Festival Lakey 2025 Tuai Pro Kontra, Budaya vs Tafsir Kepercayaan

TalkingNewsNTB.com
15 Juli 2025


Dompu, TalkingNEWSntb.com –Tarian “Ou Balumba” yang dirancang untuk tampil dalam ajang Festival Lakey 2025 menuai beragam respons dari masyarakat. Tarian yang berasal dari wilayah pesisir Hu’u ini menjadi titik perbincangan hangat, dengan munculnya pro dan kontra dari berbagai kalangan.


Sejak pertama kali diperkenalkan sebagai salah satu sajian utama festival, Ou Balumba disorot dari tiga perspektif utama: agama, budaya, dan ekonomi. Ada yang mempertanyakan unsur ritual dan simbolismenya dari sudut pandang keagamaan, sementara kelompok pelestari budaya menilai tarian ini sebagai bentuk otentik warisan leluhur yang patut dihargai. Di sisi lain, kalangan pelaku pariwisata melihatnya sebagai daya tarik yang kuat untuk meningkatkan kunjungan ke Lakey.


Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Dompu, Zainal Afrodi, S.Pd., MM. yang akrab disapa Dae Ferry, menyampaikan apresiasi atas segala masukan dari masyarakat.


Dae Ferry menjelaskan, Ou Balumba bukan sekadar tarian. Ia merupakan bentuk doa yang disampaikan dalam irama, gerak, dan simbol alam. Tarian ini lahir dari kepercayaan masyarakat pesisir yang memandang ombak sebagai pertanda kedatangan rezeki dari laut.


“Dahulu kala, ketika laut mengamuk, masyarakat tidak lari. Mereka menari dan berdoa. Ou Balumba adalah wujud dari kearifan itu,” jelasnya. Dae Ferry di ruangannya Selasa (15/7/25)


Tarian ini diawali dengan gerak lambat, irama ritmik yang menggambarkan lautan tenang. Para penari mengenakan kain pusaka, membawa cambuk kulit—simbol pemanggil petir dan angin—dan periuk tanah liat sebagai lambang rahim bumi. Saat musik mencapai puncaknya, cambuk dicambukkan dan periuk dipecahkan, melambangkan keharmonisan antara manusia dan alam.


Senada dengan Dae Ferry, Pelaksana Tugas Bidang Kebudayaan, Dedi Arsyk, S.Sos., menambahkan bahwa Ou Balumba berasal dari dua kata dalam Bahasa Dompu: Ou berarti memanggil, Balumba berarti ombak. Sehingga secara harfiah berarti “memanggil ombak”.


“Ini tarian kolosal yang melambangkan kesempurnaan hidup masyarakat pesisir. Tidak ada kaitan dengan ritual agama,” ujar Dedi.


Ia menegaskan bahwa budaya dan tradisi telah hadir jauh sebelum masuknya agama, dan dalam konteks Ou Balumba, tidak ada unsur penyembahan terhadap laut atau kekuatan gaib.


Masukan mengenai pengusungan tarian ini juga datang dari tokoh adat Hu’u, Abdul Malik, yang merupakan Ketua Majelis Adat Dompu (MAD) Kecamatan Hu’u. Dalam sebuah tayangan video, Abdul Malik menjelaskan bahwa tarian tersebut adalah warisan budaya lama masyarakat Hu’u.


“Ini bukan bentuk penyembahan atau permohonan kepada laut. Kami hanya memohon kepada Allah. Budaya tidak bisa disamakan dengan agama,” tegasnya. (Arief)