TKW Asal Dompu Ini Dipaksa Bekerja Meski Sakit, Hingga Dipalak Rp 70 juta Jika Ingin Dipulangkan -->
Cari Berita

iklan 970x90 px

TKW Asal Dompu Ini Dipaksa Bekerja Meski Sakit, Hingga Dipalak Rp 70 juta Jika Ingin Dipulangkan

TalkingNewsNTB.com
11 Oktober 2025

Foto: Nurhayati, pekerja migran indonesia asal Dompu.


Dompu, TalkingNewsNTB.Com — Sebuah video yang mengharukan dan menggegerkan publik viral di media sosial. Video tersebut memperlihatkan seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang mengungkapkan penderitaan yang dialaminya selama bekerja di Dubai. Wanita tersebut bernama Nurhayati, warga Kelurahan Monta Baru, Kecamatan Woja, Dompu, yang kini memohon bantuan kepada pemerintah daerah untuk segera dipulangkan.


Video yang diunggah oleh akun Facebook "Dewy Fitrya Putry" pada Jumat (10/10/2025) itu menunjukkan kondisi Nurhayati yang tengah kesakitan akibat serangan penyakit rematik, asam urat, dan kolesterol yang semakin memburuk. Dalam video tersebut, Nurhayati dengan penuh rasa sakit menunjukkan kaki yang terikat karena tidak tahan menahan rasa sakit yang luar biasa.


"Sudah lebih dari satu tahun saya di sini, tapi dalam dua bulan terakhir kondisi saya sangat parah. Saya tidak bisa tidur, jalan saja sulit, kaki saya diikat karena tidak tahan sakit," ujarnya dengan suara yang tercekat. Dalam video tersebut, Nurhayati memohon agar pihak pemerintah, terutama Bupati Dompu dan Gubernur NTB, segera membantunya untuk pulang ke Indonesia.


Nurhayati juga mengungkapkan bahwa meskipun dalam kondisi sakit, pihak perusahaan tempatnya bekerja tetap memaksanya untuk bekerja. Bahkan, tekanan semakin berat ketika perusahaan meminta agar ia membayar ganti rugi sebesar Rp 70 juta jika ingin dipulangkan.


“Saya minta bantuan ke Bupati Dompu, ke Gubernur NTB. Tolong keluarkan saya dari kantor di Dubai ini, saya sakit tidak bisa berjalan, kaki ini diikat karena tidak tahan sakit,” kata Nurhayati sambil menangis. 


Dia juga mengaku bahwa setiap malam  harus menahan rasa sakit yang luar biasa dan bahkan sampai menangis. Namun, ia merasa takut untuk melapor lebih jauh, khawatir akan mendapat perlakuan buruk dari oknum di tempat kerjanya.


"Saya tidak berani memberitahukan ini. Kalau saya sembuh, saya mau kembali ke sana. Tapi tolong saya dulu dari sini, jangan sampai saya binasa di negara orang," tambahnya dengan penuh harap.


Kasus yang dialami Nurhayati ini menggugah perhatian banyak pihak, terutama terkait dengan perlindungan pekerja migran Indonesia yang masih rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan. 


Seperti yang diungkapkan oleh berbagai laporan sebelumnya, banyak TKW yang terjebak dalam situasi serupa, di mana mereka terancam tuntutan ganti rugi tinggi ketika meminta pulang sebelum kontrak selesai. Salah satu contoh adalah kasus seorang TKW asal Brebes, Tarini, yang juga dilaporkan terancam dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 30 juta ketika ingin pulang dari Oman.


Tidak jarang, masalah ini diperburuk oleh keberangkatan pekerja migran yang melalui jalur ilegal atau tidak sesuai regulasi, yang membuat mereka semakin rentan terhadap pemaksaan dan tuntutan tak wajar.


Terkait dengan masalah ini, pemerintah Indonesia sempat memberlakukan moratorium pengiriman TKI untuk sektor rumah tangga ke beberapa negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, sebagai langkah untuk melindungi pekerja dari risiko kekerasan dan pelanggaran hak asasi.


Namun, belakangan ini, wacana pembukaan kembali kerja sama penempatan PMI ke Arab Saudi mencuat, dengan Presiden Prabowo mengizinkan rencana tersebut meskipun moratorium yang diberlakukan sejak 2015 masih berlangsung.


Pemerintah pun menunda pencabutan moratorium tersebut dan memastikan persiapan matang agar perlindungan bagi pekerja migran bisa dijalankan dengan baik. Regulasi terbaru juga menegaskan bahwa pengiriman pekerja migran melalui jalur ilegal dapat dikenakan sanksi pidana yang tegas, dengan hukuman penjara hingga 10 tahun atau denda hingga Rp 15 miliar.


Namun, dalam praktiknya, penanganan kasus-kasus seperti ini sering terkendala oleh berbagai faktor, seperti kurangnya bukti, jaraknya yang jauh, dan kurangnya koordinasi antar instansi terkait.


Kisah Nurhayati ini mengingatkan kita akan kebutuhan nyata untuk memperkuat sistem perlindungan bagi pekerja migran Indonesia, termasuk melalui pemantauan penempatan melalui jalur resmi dan pengawasan terhadap agen atau sponsor. Selain itu, perlu ada jaminan agar hak-hak dasar pekerja, termasuk hak atas kesehatan dan perlakuan yang adil, dapat dijunjung tinggi.


Nurhayati kini berharap agar pemerintah, baik tingkat daerah maupun pusat, dapat segera merespons keluhan dan membantunya pulang ke tanah air sebelum kondisinya semakin parah. Semoga kisahnya bisa menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan bagi TKI di luar negeri dan mendorong perubahan dalam penanganan kasus-kasus eksploitasi pekerja migran. (Arief)